FIDYAH DIBAYAR
SEKALIGUS
DAN FIDYAH DENGAN
UANG
Pertanyaan Dari:
Hj. Maryam, Midai, Kepri,
pertanyaan disampaikan lewat telpon, tanggal 4
Ramadan 1431 H
(disidangkan [ada hari Jum'at, 17 Ramadan 1431 H /
27 Agustus 2010 M)
Tanya:
Saya seorang perempuan lanjut usia (80 tahun
lebih). Saya merasa tidak kuat menjalankan ibadah puasa, karena apabila
saya berpuasa badan saya menjadi sangat lemah dan bisa sakit. Saya berkeinginan
membayar fidyah. Tetapi kata orang di kampung saya, fidyah harus dibayar setiap
hari dan tidak boleh dibayar sekaligus, serta harus dalam bentuk makanan dan
tidak boleh dalam bentuk uang. Saya tidak mampu menyiapkan makanan dan
mengantarkannya kepada fakir miskin setiap hari karena tempat yang agak jauh
dan karena usia saya yang sudah sangat lanjut. Pertanyaannya: Apa memang tidak
boleh dibayarkan sekaligus baik di depan atau di belakang untuk orang dalam kondisi
seperti saya? Dan apa memang harus dalam bentuk makanan dan apa tidak boleh
dalam bentuk uang? Terima kasih atas perhatiannya.
Jawab:
Pertama-tama disampaikan terima kasih kepada Ibu
Hj. Maryam atas pertanyaanya. Puasa Ramadan adalah salah satu kewajiban
agama yang difardukan atas setiap orang mukmin dewasa baik laki-laki maupun
perempuan, dan puasa Ramadan itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang
lima yang wajib dijalankan. Tujuan ibadah puasa itu adalah sebagai sarana pendidikan
untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan
kepada Allah swt. Namun demikian Allah SWT di dalam al-Quran memberi perkecualian
dari kewajiban melaksanakan puasa Ramadan atas orang-orang tertentu yang karena
suatu atau lain sebab tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut. Perkecualian
ini diberikan sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri bahwa agama ini
bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia [Q. 21: 107] dan tidak bertujuan
mempersulit manusia [Q. 5: 6; 22:78]. Bahkan dalam ayat puasa sendiri
ditegaskan bahwa prinsip pelaksanaan puasa itu adalah memudahkan sebagaimana
firman Allah,
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [البقرة : 185]
Artinya: Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu [Q. 2:
185].
Atas dasar itu
kepada orang-orang tertentu diberi keringanan (rukhsah) dalam
menjalankan ibadah tersebut. Orang-orang yang mendapat keringanan itu adalah:
1.
Orang yang memiliki uzur
sementara, yaitu orang sakit dan bepergian (musafir). Mereka ini
dibolehkan tidak puasa, tetapi diwajibkan membayarnya (mengqadanya) pada hari
lain di luar bulan Ramadan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam ayat 184
surat al-Baqarah yang menegaskan,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة: 184]
Artinya: Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib
membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu
adalah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q.
2: 184].
2.
Orang yang memiliki uzur tetap,
yaitu orang lanjut usia yang tidak lagi mampu berpuasa – seperti Ibu Hj. Maryam
yang berusia 80 tahun lebih dan tidak kuat lagi berpuasa –, orang sakit
menahun, orang yang penghidupannya adalah dengan bekerja berat seperti kuli
pekerja tambang, kuli pelabuhan atau semacam itu yang apabila berpuasa mereka
akan mengalami kesulitan besar dan merasa teramat berat dan menderita. Termasuk
juga kategori ini adalah wanita hamil dan menyusui. Kepada mereka ini diberi rukhsah
(dispensasi, keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan membayar
fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak puasa
dengan kadar sekurang-kurangnya satu mud bahan pangan pokok (6 ons). Dasarnya
adalah potongan ayat yang telah dikutip di atas,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة : 184]
Artinya: Dan
wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka
tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin [Q. 2: 184].
Dalam Tafsir
al-Manar ditegaskan bahwa al-ladzina yuthiqunahu berarti orang-orang
yang amat berat dan amat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan
tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat) yang besar (Juz II: 126]. Arti
ini meliputi orang-orang tua yang lemah, orang sakit menahun, pekerja berat di
pertambangan, kuli pelabuhan, tukang becak, supir kenderaan besar jarak jauh,
termasuk wanita hamil dan menyusui. Mereka diberi rukhsah (keringanan) untuk
tidak berpuasa tetapi diwajibkan menggantinya dengan membayar fidyah. Akan tetapi,
sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah yang dikutip di muka, jika mereka ini
mengupayakan untuk berpuasa, maka hal itu lebih baik. Jika seandainya mereka
miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar
fidyah, sesuai dengan firman Allah,
لاَ
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة: 286]
Artinya: Allah tidak
akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [Q. 2: 286].
Mengenai cara
membayar fidyah, apakah boleh dilakukan sekaligus saja atau diecer dengan cara
membayar setiap kali tidak berpuasa Ramadan, maka sesungguhnya tidak ada
ketentuan bahwa wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Karena itu
boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak
puasa di bulan Ramadan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadan karena itu
lebih memudahkan sesuai dengan firman Allah dalam Q. 2: 185 yang telah dikutip
di atas dan dalam firman Allah,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ [الحج: 78]
Artinya: Dan tiadalah Dia
(Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama [Q. 22: 78].
Fatwa dari
Lajnah Daimah dari Arab Saudi juga membolehkan membayar fidyah secara sekaligus
sebagaimana boleh juga membayarnya secara diecer setiap hari tidak puasa.
Demikian pula,
sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah di atas, boleh seluruh fidyah itu diberikan
kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan,
boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah
hari tidak berpuasa (memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin
karena membayar fidyah puasa 30 hari). Menurut Syaikh Usaimin pandangan ini
dianut oleh kebanyakan ulama Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah.
Ibn Muflih (w. 763/1362) dalam Kitab al-Furu’ (IV: 448) dan Ibn
al-Mardawi (w. 885/1480) dalam kitab al-Insaf (III: 291), keduanya dari
mazhab Hanbali, menegaskan, “Boleh menyalurkan pemberian makan kepada satu
orang miskin secara sekaligus.” Artinya seluruh fidyah diberikan kepada satu
orang miskin saja. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w.
676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin
(II: 246). Al-Bahuti (w. 1046/1636) dalam
Kasysyaful-Qina’ mendasarkan kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah
184 al-Baqarah di atas. Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada
satu orang, maka boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap
santap, kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan
zahir ayat fidyah di atas, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sahabat Anas
Ibn Malik r.a., salah seorang Sahabat Nabi saw yang ketika di usia tua tidak
mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang untuk satu hari saja.
Asar ini diriwayatkan oleh Ibn Mullas (w. 270/883) dalam Suba’iyyat Abi
al-Ma’ali, h. 18).
Adapun mendahulukan
fidyah sebelum masuknya bulan Ramadan tidak dapat dibenarkan karena fidyah itu
adalah pengganti dari suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur
tetap. Sementara puasa Ramadan sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadan, belum
wajib dilaksanakan, jadi belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada
fidyah pengganti kewajiban.
Mengenai wujud
fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan
oleh Anas Ibn Malik r.a. dalam riwayat Ibn Mullas di atas, (2) bahan pangan
seperti gandum, cantel, tamar, atau beras. Hal ini difahami dari keumuman kata tha’am
(makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas. Di dalam hadis-hadis Nabi
saw kata tha’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan
bahan pangan. Dalam hadis riwayat Muslim Nabi saw bersabda,
إذا دُعِيَ أحدكم إلى
طَعَامٍ فَلْيُجِبْ
Artinya: Apabila
seseorang kamu diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya (HR
Muslim, Sahih Muslim, II:
1054).
Dalam hadis
ini kata tha’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam hadis
lain kata tha’am berarti bahan pangan, misalnya dalam hadis Abu
Hurairah,
عن أبي هُرَيْرَةَ قال
مَرَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ
يَدَهُ فيه فإذا هو مَغْشُوشٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ليس مِنَّا من
غَشَّ [رواه ابن ماجه]
Artinya: Dari Abu
Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw lewat pada seorang
penjual bahan pangan (tha’am), lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan
pangan itu, ternyata tipuan. Lalu Rasulullah saw berkata: Tidak termasuk umat
kami orang yang melakukan penipuan (HR Ibn Majah).
Dalam hadis
ini dan banyak hadis lainnya kata tha’am berarti bahan pangan. Jadi oleh
karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam
bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah
bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di
Indonesia bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk
satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.
Dapatkah fidyah
dibayarkan dalam bentuk uang senilai bahan pangan? Mengenai pembayaran fidyah
dengan uang, maka terdapat perbedaan pendapat ulama. Fatwa Lajnah Daimah dari
Arab Saudi dengan mufti Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz tidak membolehkan
membayar fidyah dalam bentuk uang. Tetapi fatwa itu tidak menjelaskan alasannya.
Fatwa itu hanya berbunyi singkat, “Tidak memenuhi ketentuan apabila engkau
membayar fidyah dengan uang sebagai ganti memberi makan.” Fatwa-fatwa lain
seperti fatwa dari al-Azhar yang diberikan oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf
dan fatwa dari Dar al-Ifta yang dikeluarkan oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Jum’ah
dan fatwa dari Komisi Fatwa Kuwait membolehkan membayar fidyah dengan uang.
Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dalam salah satu fatwanya menegaskan bahwa,
“Apabila sakitnya tidak dimungkinkan untuk sembuh lagi, maka wajib atasnya
membayar fidyah seperti halnya orang tua yang lemah … … … dan fidyah itu adalah
memberi makan dua kali kepada satu orang miskin atau memberi bahan pangan
seperti gandum setengah sha’ atau membayar nilainya (dengan uang).” Dalam
fatwa ini disebut memberi makan orang miskin dua kali dikarenakan dalam satu
hari orang makan sekurang-kurangnya dua kali.
Dilihat dari segi
sifat likuid dari uang sehingga lebih luwes dapat digunakan untuk kebutuhan
yang diprioritaskan oleh orang miskin, maka menurut kami pendapat yang
membolehkan pembayaran fidyah dengan uang adalah lebih rajih. Ulama-ulama
Hanafi ketika membolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang miskin dalam
bentuk uang beralasan bahwa uang lebih likuid sifatnya dan lebih luwes
penggunaannya. Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah
adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang
dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu kami berpendapat bahwa
pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah
fidyah.
Dalam fatwa
Majelis Tarjih yang termuat pada buku Tanya Jawab Agama, jilid 2:
126-128, ketika menjawab pertanyaan tentang kebolehan membayar zakat fitrah dan
fidyah dengan uang, diuraikan panjang lebar arti kata tha’am dalam
ungkapan tha’am al-miskin yang disebutkan dalam al-Quran. Menyarikan
uraiannya yang panjang, fatwa itu menegasakan,
Ringkasnya,
pengertian tha’am dalam pengertian bahasa, pengertian dalam al-Quran
maupun dalam Hadis mempunyai beberapa arti. Dapat berarti makanan, baik yang
mentah maupun yang matang. Dapat pula berupa suatu pemberian yang dapat
digunakan untuk memberikan santunan terhadap keperluan hidup fakir/miskin,
seperti uang [h. 128].
Akan tetapi
dalam kesimpulan kurang diberi penegasan mengenai boleh atau tidak boleh
memberikan fidyah dalam bentuk uang. Fatwa itu menyatakan, “Kesimpulannya
membayar fitrah dan fidyah, bagi yang tidak mampu melaksanakan puasa, yang
utama dibayar dengan memberikan makanan yang masih mentah seperti beras dan
sesamanya yang menjadi makanan harian si pembayar” [h. 128].
Oleh sebab
itu, dalam fatwa yang sekarang ini dipertegas kebolehan membayar fidyah dalam
wujud uang berdasarkan alasan seperti telah dikemukakan di atas.
Uraian panjang
di atas, menyangkut pertanyaan yang diajukan, dapat diringkas sebagai berikut:
1.
Pembayaran fidyah bagi orang yang
tidak menjalankan puasa Ramadan karena uzur tetap seperti usia sangat lanjut,
sakit menahun, hamil dan menyusui, atau kerja sangat berat terus menerus dapat
dilakukan dalam bentuk memberi jamuan makan (makanan siap santap), memberi
bahan pangan 6 ons beras, atau dalam bentuk uang senilai bahan pangan tersebut.
2.
Pembayaran fidyah bagi orang
sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas dapat dilakukan sekaligus dan dapat
pula dilakukan setiap hari serta dapat dilakukan di muka sejak awal Ramadan dan
dapat pula dilakukan kemudian, tetapi tidak dapat dilakukan sebelum
masuknya bulan Ramadan.
3.
Pembayaran fidyah bagi orang
sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas dapat dilakukan dengan memberikan
seluruh fidyah kepada satu orang miskin saja.
4.
Pembayaran fidyah bagi orang
sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas, bilamana berupa memberi makanan siap
santap, dapat dilakukan satu hari untuk seluruh hari Ramadan tidak puasa dengan
menjamu makan orang miskin sejumlah hari Ramadan yang tidak dipuasai.
Wallahu a'lam bish-shawab. *sy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar