AWAL
RAMADHAN: Mengapa MUHAMMADIYAH [Konsisten] Menggunakan Metode Hisab?
Pemerintah Kamis (20/7) malam baru menggelar
sidang isbat untuk menentukan awal masuknya bulan suci Ramadhan. Muhammadiyah,
salah satu organisasi besar Islam di Tanah Air sudah menetapkan awal puasa atau
1 Ramadhan dimulai pada 20 Juli dan sholat tarawih pada malam ini.
Tibanya Ramadhan dan Idul Fitri, dua momen yang
menempatkan Muhammadiyah menjadi sorotan media massa. Apa pasalnya?
Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu
mendahului pemerintah yang menggunakan metode rukyat dalam menentukan masuknya
bulan Qamariah.
Perbedaan metode itulah yang menyebabkan ada
kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan
pemerintah. Akibatnya seringkali Muhammadiyah menjadi sasaran kritik, mulai
dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah hingga tidak
mengikuti Rasulullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal.
Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima
penggunaan metode hisab.
Menurut publikasi Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam situs www.muhammadiyah.or.id
mengatakan umumnya mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada
salah satu hadits yaitu: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah
(idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan
terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al
Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut dan juga contoh Rasulullah Saw,
sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya
pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada
Rasulullah Saw.
Lalu mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai
metode hisab? Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Prof.Dr.Syamsul Anwar,MA dalam tulisannya yang
dipublikasikan oleh www.muhammadiyah.or.id
memaparkan beberapa alasannya sbb:
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab
wujud al-hilal, yakni metode menetapkan awal bulan baru yang
menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga
parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum
matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.
Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih
metode hisab, bukan rukyat, ini dia alasannya:
Pertama, semangat Al Qur’an
adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar
menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa
matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah
hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan
Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat
(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah
ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab.
Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits
riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami
tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari”.
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada
atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada
yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat
tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan
tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits
dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa
menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua
keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga,
dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat
meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1.
Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini
tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun
lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang
terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat
menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat
Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini
karena rukyat pada visibilitas pertama tidak meng-cover seluruh muka bumi. Pada
hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang
tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan
di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak
dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat
melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan
lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada
musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat
terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di
sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang
jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal
bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa
apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh
muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di
zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas
pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan
masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat
sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di
kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu
hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah.
Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan
ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah
jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat
itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah
terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau
balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat
tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan
karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara
selaras di seluruh dunia.
"Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul
seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat,"
ujarnya.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender
Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun
2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at
Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah
menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan
umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap
hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab
untuk menentukan waktu-waktu shalat”.