Bagi Saudara yang ingin tahu perkembangan salafi di Indonesia berikut aku posting sebuah artikel yang aku copy dari website " Abu Salafy".
SALAFI MELAWAN SALAFI - PERKEMBANGAN SALAFI DI INDONESIA DAN
PERPECAHANNYA DIANTARA MEREKA
Perkembangan gerakan salafi di Indonesia tidak mungkin
dilepaskan dari dinamika internasional sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan
boleh dikatakan, dinamika gerakan salafi Indonesia sebagian besar merupakan
perpanjangan dari perkembangan internasional.
Sama seperti kecenderungan internasional, gerakan salafi
baru muncul di Indonesia pada awal dekade 1980-an. Dorongan utamanya adalah
berdirinya lembaga LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) yang
merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad di Indonesia.
LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid
tokoh utama salafi Syeikh Abdullah bin Baz.
LIPIA menggunakan kurikulum Universitas Riyad, staf
pengajarpun didatangkan langsung dari Saudi. Salah satu yang membuat banyak
mahasiswa tertarik belajar di LIPIA, karena LIPIA menyediakan beasiswa berupa
uang kuliah dan uang saku. Lebih dari itu, LIPIA juga menjanjikan para
alumninya untuk bisa melanjutkan tingkat master dan doktoral di Universitas
Riyad di Saudi.
Alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini menjadi tokoh terkemuka
di kalangan salafi. Diantaranya adalah Yazid Jawwas, aktif di Minhaj us-Sunnah
di Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida'ul Islam,
Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far Umar Thalib,
pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; and Yusuf Utsman Bais’a direktur
al-Irsyad Pesantren, Tengaran.
Sebagaimana ciri umum salafi, generasi 1980-an LIPIA
tersebut sangat anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah
Tabligh dan Darul Islam. Jangankan untuk bergaul dengan mereka yang
berorganisasi, dengan sesama salafi yang berorganisasipun mereka menolak untuk
dibantu secara keuangan.
Dari generasi 1980-an lahir Ja’far Umar Thalib. Dia adalah
lulusan pertama LIPIA dan menjadi perintis pertama gerakan dakwah salafi di
Indonesia. Diantara lulusan LIPIA, Ja’far berangkat ke Yaman pada tahun 1991
untuk belajar pada Sheikh Mukbil ibn Hadi al-Wad'i, di Dammaz, Yaman. Seperti
sudah disinggung sebelumnya, Mugbil adalah tokoh salafi puritan. Karakter ini
akan menurun pada Jafar. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan LIPIA lainnya, belajar
langsung ke Arab Saudi dan belajar dari kalangan syeikh sahwah Islamiyah.
Karena as-sahwah terpengaruh Ikhwanul Muslimin, maka pandangan Yusuf Baisa
nantinya juga sangat berbeda dengan Jafar.
Konflik Salafi
Perkembangan salafi di Indonesia ternyata rawan konflik.
Sumber konflik pertama adalah bias konflik di level internasional. Di
Indonesia, hal ini termanifestasikan dalam tindakan saling kecam antara mereka
yang tergabung dalam salafi puritan dan mereka yang terkait dengan jaringan
Sururiah. Sedang konflik kedua adalah ketegangan guru-murid karena ulah sang
murid yang dianggap melenceng oleh sang guru. Tipe konflik kedua inilah yang
dialami oleh Jafar Umar Thalib. Sedang konflik ketiga adalah konflik sesama
ulama salafi.
Ada dua konflik besar yang terjadi dikalangan Salafi,
pertama konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa. Kedua konflik
Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed, dan Yazid Jawwaz. Konflik ini
berimplikasi pada jaringan mereka yang terpecah-pecah. Muara dari pertikaian
adalah munculnya dua group besar mengikuti pembelahan di level internasional:
sururi dan puritan.
Konflik pertama, antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf
Baisa sampai pada tahap mubahalah (beradu do’a, siapa yang berbohong akan
celaka). Yusuf Baisa seperti juga Ja'far Umar Thalib merupakan alumni pesantren
PERSIS Bangil. Keduanya melanjutkan studi ke LIPIA. Namun, Yusuf Baisa
meneruskan ke Riyadh sedangkan Jafar meneruskan ke Yaman.
Sekembali dari Yaman, Ja'far Umar Thalib mendengar khabar
bahwa Yusuf Baisa mengkampanyekan pandangan yang berbeda dengan salafi. Yusuf
Baisa mengatakan agar dakwah menjadi efektif, maka harus mempunyai kemampuan
berorganisasi seperti kalangan Ikhwan al Muslimun, bijaksana seperti Jama’ah
Tabligh, dan mempunyai ilmu pengetahuan seperti Salafi, dalam hal saling
memahami masalah aqidah. Sebagian pendengar menyampaikan pernyataan ini pada
Ja'far.
Ja'far mendengar berita ini sangat marah sekali pada Yusuf,
karena menganggap gerakan Salafi seperti gerakan Ikhwan yang terorganisir. Abu
Nida coba mendamaikan keduanya, berlaku sebagai mediator. Yusuf dan Ja’far
bertemu dan untuk memberikan klarifikasi, hal ini terjadi di rumah Ja’far dan
dipimpn oleh Abu Nida’ dan dihadiri oleh tiga pemimpin Salafi lainnya.
Yusuf mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan membicarakan
manfaat hizbiyah seperti Ikhwan al Muslimun. Pendeknya pertemuan itu
menghasilkan kesepakatan bahwa Yusuf Baisa akan kembali ke riil salafi. Yusuf
juga setuju untuk mengumumkan kepada para aktifis Salafi bahwa dia telah
kembali ke jalan yang benar, dengan demikian dia meyakinkan bahwa Salafi harus
tetap bersatu. Yusuf juga membuat pertemuan pada bulan Juni 1994 di masjid
Utsman bin Affan dekat rumah Ja'far, untuk menyelesaikan persoalan mereka.
Namun Yusuf beberapa bulan kemudian menyatakan hal sama
kembali. Pada sebuah ceramah tentang konsep keadilan, Yusuf merekomendasikan
tulisan beberapa kalangan Salafi dimana Ja’far menyebut mereka sebagai
Sururiyah.
Perkembangan pertengkaran antara keduanya semakin memburuk.
Yusuf mengadakan diskusi mengkritik buku Ja’far. Ja’far menuduh Yusuf melakukan
fitnah, karena itu Ja’far menulis “gerakan Sururi memecah belah Ummat”. Yusuf
merespon pandangan Ja’far dengan mengajak mubahalah.
Setelah diadakan Mubahalah perpecahan semakin tak bisa
dihindari. Ja’far meminta semua kalangan salafi untuk ikut bersamanya atau
berhadapan dengannya. Semua guru-guru Salafi yang datang bersamanya yang
umumnya berasal dari FKASWJ.
Konflik kedua terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan
Muhammad Assewed dan Yazid Jawwas. Kedua tokoh tersebut terbilang mantan
murid-murid Ja’far Umar Thalib. Namun kini hubungan antara guru dengan murid
terputus sudah, mereka saling membid’ahkan satu sama lain.
Konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed
terjadi setelah kembali dari jihad Ambon. Sepulang dari Ambon Ja’far melakukan
perenungan dakwah. Diantara perenungannya adalah menyadari telah terjadi
kesalahan yang amat fatal dalam melakukan dakwah Salafiyah yaitu terlalu
memprioritaskan aqidah sementara itu dalam segi akhlaq tidak terlalu
terperhatikan. Akibatnya, para murid Ja’far sulit untuk toleran terhadap orang
lain yang tidak sepaham dengan manhaj Salafi. Dengan demikian, dakwah manhaj
Salafi menjadi ditakuti orang lain, bukan malah sebaliknya dicintai kaum
muslimin.
Padahal dalam ajaran Islam antara akhlaq dengan aqidah
berdiri satu jajar dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.
Memprioritaskan antara aqidah atau akhlaq akan menimbulkan
kepincangan dalam dakwah. Seperti yang dialami kalangan Salafi, masyarakat
bukan tidak mau menerima kebenaran ajaran, namun menjadi takut melihat akhlaq
da’i yang tidak mempunyai jiwa toleran sama sekali.
Tak hanya itu, kuatnya doktrin dalam rangka membina aqidah
berakibat pada keengganan murid berbeda pendapat dengan gurunya. Hal ini
berimplikasi tidak adanya penelaahan terhadap kitab yang ada, sebab segalanya
telah diserahkan pada guru (syaikh). Sikap demikian, pelan namun pasti
menimbulkan sikap taqlid, dimana hal ini sangat ditentang dalam manhaj Salafi.
Refleksi pemikiran ini rupanya tak bisa diterima para
muridnya. Diantaranya yang menolak pemikiran Ja’far adalah Muhammad Assewed.
Menurut Assewed, pemikiran Ja’far ini dianggap sebagai melemahnya sikap Ja’far
terhadap ahlul bid’ah. Padahal menurut Assewed, memperingatkan ummat dari ahlul
bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajar mereka,
memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, adalah kesepakatan dalam
ajaran salafi.
Hasil perenungan Ja’far dianggap sebagai sikap kompromi
terhadap bid’ah, karena itu aqidah Ja’far patut dipertanyakan, apakah masih
dalam manhaj Salafi atau sudah keluar? Berita ini sampai juga ketelinga para
guru di Timur Tengah. Repotnya para guru hanya menerima informasi sebelah
pihak, walhasil keluar fatwa dari syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali bahwa
Ja’far Umar Thalib sudah keluar dari manhaj Salafi. Tentu saja Ja’far tidak
menerima fatwa ini, sebab menurutnya apa yang disampaikan pada para syaikh
hanya kedustaan belaka.
Namun menurut Ja’far, itulah persoalannya, kaum muslimin di
Indonesia jangan dibayangkan kalau mereka itu semua mengerti akan agama Islam
secara mendetail. Umat Islam di Indonesia, pada umumnya tidak tahu Islam secara
mendetail. Maka silang pendapatpun terjadi, yang berujung pada saling tuding.
Sampai tulisan ini diturunkan Muhammad Assewed sudah tak tinggal lagi di
Yogyakarta, melainkan di Cirebon kembali membina madrasah Al-Irsyad.
Silang pendapat yang cukup tajam juga terjadi antara Ja’far
Umar Thalib dengan Yazid Jawaaz Perbedaan pendapat mengenai apakah kelompok
Salafi perlu pergi untuk berjihad ke Ambon. Yazid Jawaaz berpendapat bahwa
kalangan Salafi tak perlu berangkat ke Ambon, karena masih ada pemerintah yang
bertanggung jawab. Namun, Ja’far dan Assewed berpendapat lain. Bahwa telah
terjadi pendhaliman terhadap umat Islam di Ambon dan memerlukan bantuan. Silang
pendapat ini berujung pada saling tuding, bahwa Ja’far menganggap Yazid enggan
untuk berangkat Jihad, sementara Yazid menuduh Ja’far hanya mencari popularitas
saja.
Tak hanya itu, perbedaan pendapat juga terjadi mengenai
pemikiran para tokoh Ikhwanul Muslimin, antara Yazid Jawwas dengan kalangan
Salafi lainnya, menyebabkan Yazid tidak lagi dianggap Salafi. Dalam pandangan
Yazid, tidak semua pendapat atau tindakan para tokoh Ikhwan bisa dikategorikan
sebagai ahlul bid’ah, sebab mereka adalah para pejuang Islam, yang rela
berkorban demi Izzul Islam wal Muslimin. Namun lain halnya dengan pandangan
para syaikh Salafi terutama yang berada di Timur Tengah, dimana mereka
menganggap para tokoh Ikhwanul Muslimun adalah orang-prang hizbiyyah (yang
selalu mendahulukan kelompoknya) dan itu termasuk dalam dosa besar.
Setelah terjadi konflik yang berterusan antara Ja’far dengan
yang lain, maka gerakan salafi terpecah menjadi semakin jelas antara yang politik
dan non politik – terjaring dalam FKASWJ.
Salafi Sururiah
Bagi kalangan Salafi yang mentolerir adanya kehidupan
berpolitik lebih sering disebut kelompok sururiyah. Di Indonesia sendiri,
banyak sekali kalangan salafi yang mendapat gelar sururiyah atau yang mempunyai
pandangan yang berbeda dengan kalangan salafi puritan. Mereka adalah Yusuf
Baisa, Abu Nida Chomsaha Sofwan dkk, Abu Sa'ad Muhammad Nur Huda, MA, Arif
Syarifuddin, Lc, Abu Ihsan Al Maidani Al Atsary, Afifi Abdul Wadud, Abul Hasan
Abdullah bin Taslim, Lc, Abu Abdil Muhsin Firanda, Asmuji (Imam Syafi'i,
Cilacap). Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc
, Muhammad Yusuf Harun, MA, dan Farid Ahmad Okbah dari PP Al Irsyad.
Demikian juga dengan kelembagaannya, kalangan salafi
politik, relatif bergerak dalam kelembagaan dibandingkan dengan kalangan salafi
non politik. Mereka diantaranya adalah Yayasan al-Sofwah, kelompok Yazid Jawwas
dan Abdul Hakim Abdat, yang dekat tetapi tidak secara institusional berhubungan
dengan al-Sofwah.
Abu Nida', Ahmad Faiz, dan jaringan at-Turots. Kelompok Abu
Nida' menerbitkan majalah al-Fatawa, Ahmad Faiz's juga menerbitkan majalah
as-Sunnah. Ketiga, majalah, al-Furqon, yang diterbitkan oleh kelompok Annur
Rofiq dari Mahad al-Furqon al-Islami, Gresik, yang mempunyai jaringan yang
sama.
Yusuf Baisa dan Farid Okbah jaringan al-Irsyad (sangat dekat
dengan at-Turots tetapi bukan bagian dari jaringannya). Yayasan al-Irsyad
selalu dikritik karena mempunyai acara muktamar tahunan, ini merupakan bukti
dari kegiataan hizbiyah.
PP Taruna Al Qur'an, Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris
Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc (alumni Madinah, disebut tokoh freeline). PP
Taruna Al Qur'an alias L-Data cabang Jogjakarta ini akrab dengan ikhwani
dimanapun. L-Data pusat dipimpin (aldakwah.org) Muhammad Yusuf Harun, MA, dai
al Sofwa, penerjemah al Al Sofwa Jakarta.
Para tokoh kalangan salafi politik tersebar di berbagai
negara dan mereka melakukan pembinaan dengan organisasi non profit (LSM) yang
ada di Indonesia. Di antara tokoh Salafi politik internasional adalah, Muhammad
Surur Nayif Zainal Abidin (kini tinggal di London), Abdul Karim Al Katsiri
(Saudi Arabia), Syarif Fuadz Hazza (Mesir), Musthofa bin Isma’il Abul Hasan as
Sulaimani Al Ma’ribi al hizbi (Yaman).
Mereka juga memberikan banyak bantuan pada LSM seperti,
As-Sofwah, at-Turots dan lain-lain dalam rangka penyebaran paham salafi
politik.
Ketidaksukaan sebagian Salafi seperti as-Sewed (salafi
puritan) kepada lembaga at-Turots merupakan refleksi dari pendirian mentor
mereka di Saudi Arabia dan Yaman kepada Abdul Khaliq. Pertentangan ini semakin
muncul ketika website salafi memuat pemikiran Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi,
guru Ja’far dari kaset yang direkam tahun 1995. Syeikh Muqbil menuduh Abdul Khaliq
mencoba untuk memecah komunitas Salafi dengan secara terbuka membagikan uang
dinar di Kuwait, Indonesia, Yaman, dan Sudan.
Pertentangan kalangan Salafi diketahui Ja’far sejak awal.
Ja’far selain mengenal para Imam Salafi, Ja’far juga mengenal para tokoh Salafi
yang dianggap menyimpang dari manhaj Salafi. Mereka adalah Muhammad Surur bin
Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, dan Abdurahman
Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka karena para tokoh ini menganggumi para tokoh
Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh,
Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Rashid Ridha dan lain-lain, yang dianggap sesat
oleh para Imam Salafi.
Kalangan Salafi yang dianggap menyimpang ini juga mempunyai
banyak murid di Indonesia. Bahkan untuk mengkomunikasikan para murid Abdurahman
Abdul Khaliq mendirikan lembaga Ihya’ut Turats. Untuk memperdalam komunikasi
dengan para murid Abdurahman Abdul Khaliq sering datang ke Indonesia.
Pada tahun 2004 Umar as-Sewed mengkritik ungkapan Abdul Khaliq
yang telah mendiskreditkan para pemimpin Saudi. Menurut as-Sewed, Abdul Khaliq
pantas juga diberikan gelar sebagai thaghut, sebagaimana juga diungkapkan oleh
semua syeikh Salafi termasuk bin Baz dan Utsaimin. As-Sewed juga mendorong
bahwa ketidaksukaan Abdul Khaliq pada Saddam terjadi baru-baru ini karena
adanya perang, karena itu Abdul Khaliq pada dasarnya adalah orang munafik nomer
satu.
Dengan demikian jelas, bahwa gerakan salafi di Indonesia
sangat amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di Timur Tengah. Saling tuding
dengan mengatasnamakan agama, menjadi ciri khas dari gerakan salafi. Yang
ironis dari kelompok salafi ini adalah mereka mengajarkan doktrin anti taqlid
kepada para pengikutnya, namun pada kenyataannya, mereka juga taqlid kepada para
syeikh mereka di Timur Tengah. Hal ini terlihat dari apa yang terjadi konflik
di Timur Tengah maka di Indonesiapun terjadi konflik.
Melihat fenomena seperti ini, apakah para
pengikut salafi ini tidak merasa aneh mengikuti sebuah manhaj/aliran paham yang
kemudian terpecah-pecah dan saling menghujat, saling klaim saling adu fatwa ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar